(updated) Perihal Cukur rambut dan gunting kuku jika mau berkorban.
September 7, 2015 by abahzaky2014
diupdate menjelang Idul Adha 1438H.
http://www.nu.or.id/post/read/71090/hukum-potong-kuku-dan-rambut-ketika-kurban
*PENJELASAN PP IPIM*
Assalamualaikum wr wb,
Hari-hari ini ada 2 masalah yang paling banyak ditanyakan oleh umat. Mereka bingung karena banyaknya postingan yang berbenturan.
Oleh karena itu PP IPIM (Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Imam Masjid) merasa perlu untuk memberi penjelasan singkat sebagai berikut:
1. Soal puasa tgl 1-8 Dzulchijjah (23-30 Agustus 2017), itu termasuk puasa bulan-bulan haram (اشهرالحرم), hukumnya sunnah dan bagus, berdasar hadis shahih Muslim dll. Sedang puasa tgl 9 Dzulchijjah (31 Agustus 2017) sudah amat masyhur, sbg puasa Arafah. Untuk tgl 10-13 Dzulchijjah (1-4 September 2017) diharamkan berpuasa (krn hari Nachar dan hari Tasyriiq).
2. Mengenai larangan memotong rambut dan kuku mulai tgl 1-9 Dzulchijjah, para fuqaha’ berbeda pendapat sbb:
* menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih), larangn itu bukan berakibat hukum haram melainkan makruh saja. Bahkan menurut fuqaha’ Hanafiyyah memotong rambut dan kuku tsb hukumnya mubach (boleh), bukan makruh, apalagi haram.
* ada fuqaha’ yang berpendapat, bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku orang yang akan berqurban.
* banyak pula yang berpendapat, bahwa yang dilarang adalah memotong rambut dan kuku hewan qurban.
Demikian, semoga umat menjadi tenang dalam beribadah dan tidak terganggu lagi dengan postingan2 yang berlawanan.
Lebih jelas bisa dibaca buku FIQIH KONTEMPORER (oleh Ahmad Zahro)
Terimakasih dan mohon maaf. Semoga bermanfaat…aamiin.
Wassalamualaikum wr wb,
Ahmad Zahro
Ketum PP IPIM
http://www.youtube.com/c/azahroofficial
Postingan tahun lalu 1437H.
Diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِيْ الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Apabila kalian telah melihat hilal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian berkehendak untuk menyembelih (qurban), hendaknya ia menahan rambut dan kuku‑kukunya.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan,
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Apabila sepuluh (hari awal Dzulhijjah) telah masuk, dan salah seorang di antara kalian berkehendak untuk menyembelih (qurban), janganlah ia menyentuh sesuatu pun berupa rambut dan kulitnya.” [Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 1977 (konteks hadits adalah milik beliau), Abu Dâwud no. 2791, At-Tirmidzy no. 1527, An-Nasâ`iy 7/211-212, dan Ibnu Mâjah no. 3149-3150]
kalau sudah masuk zulhijjah dan kita niat berkorban ga usah gunting rambut dan kuku sampai pelaksanaan korban selesai dilakukan.
HUKUM MEMOTONG RAMBUT ATAU KUKU PADA SEPULUH HARI PERTAMA DZULHIJJAH BAGI ORANG YANG AKAN MENYEMBELIH KURBAN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Ada seseorang yang akan menyembelih hewan kurban hanya untuk dirinya saja. Atau hendak berkurban untuk dirinya dan kedua orang tuanya. Bagaimana hukum memotong rambut dan kuku baginya pada hari-hari di antara sepuluh hari pertama Dzulhijjah? Apa hukumnya bagi perempuan yang rambutnya rontok ketika di sisir? Dan bagaimana pula hukumnya kalau niat akan berkurban itu baru dilakukan sesudah beberapa hari dari sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sedangkan sebelum berniat ia sudah memotong rambut dan kukunya?
Sejauh mana derajat pelanggaran kalau ia memotong rambut atau kukunya dengan sengaja sesudah ia berniat berkurban untuk dirinya atau kedua orang tuanya atau untuk kedua orang tua dan dirinya? Apakah hal ini berpengaruh terhadap kesahan kurban?
Jawaban
Diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًَا
“Apabila sepuluh hari pertama (Dzulhijjah) telah masuk dan seseorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun” [Riwayat Muslim]
Ini adalah nash yang menegaskan bahwa yang tidak boleh mengambil rambut dan kuku adalah orang yang hendak berkurban, terserah apakah kurban itu atas nama dirinya atau kedua orang tuanya atau atas nama dirinya dan kedua orang tuanya. Sebab dialah yang membeli dan membayar harganya. Adapun kedua orang tua, anak-anak dan istrinya, mereka tidak dilarang memotong rambut atau kuku mereka, sekalipun mereka diikutkan dalam kurban itu bersamanya, atau sekalipun ia yang secara sukarela membelikan hewan kurban dari uangnya sendiri untuk mereka. Adapun tentang menyisir rambut, maka perempuan boleh melakukannya sekalipun rambutnya berjatuhan karenanya, demikian pula tidak mengapa kalau laki-laki menyisir rambut atau jenggotnya lalu berjatuhan karenanya.
Barangsiapa yang telah berniat pada pertengahan sepuluh hari pertama untuk berkurban, maka ia tidak boleh mengambil atau memotong rambut dan kuku pada hari-hari berikutnya, dan tidak dosa apa yang terjadi sebelum berniat. Demikian pula, ia tidak boleh mengurungkan niatnya berkurban sekalipun telah memotong rambut dan kukunya secara sengaja. Dan juga jangan tidak berkurban karena alasan tidak bisa menahan diri untuk tidak memotong rambut atau kuku yang sudah menjadi kebiasan setiap hari atau setiap minggu atau setiap dua minggu sekail. Namun jika mampu menahan diri untuk tidak memotong rambut atu kuku, maka ia wajib tidak memotongnya dan haram baginya memotongnya, sebab posisi dia pada saat itu mirip dengan orang yang menggiring hewan kurban (ke Mekkah di dalam beribadah haji). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
“Janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya “ [Al-Baqarah : 196]
Walahu ‘alam
https://www.islampos.com/awal-dzulhijjah-benarkah-orang-yang-berkurban-haram-potong-rambut-dan-kuku-1-135903/
https://www.islampos.com/awal-dzulhijjah-benarkah-orang-yang-berkurban-haram-potong-rambut-dan-kuku-2-habis-136112/
Awal Dzulhijjah, Benarkah Orang yang Berkurban Haram Potong Rambut dan Kuku? (1)
BULAN Dzulhijjah atau lebih akrab ditelingan orang sunda dengan sebutan bulan haji, sebentar lagi tiba. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa di bulan Dzulhijjah terdapat Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Idul Adha juga identik dengan Hari Raya Qurban. Mungkin kita pernah mendengar bahwa orang yang hendak berkurban dilarang memotong rambut dan kuku jika sudah memasuki bulan Dzulhijjah, mengingat Dzulhijjah kurang lebih jatuh satu atau dua hari lagi lalu apakah larangan tersebut bersumber shahih?
“Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi Saw. berkata: “Bila telah memasuki 10 (hari bulan Zulhijjah) dan seseorang ingin berqurban, maka janganlah dia ganggu rambut qurbannya dan kuku-kukunya.” (HR. Muslim)
Hadits diatas memang Shahih, karena diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam lainnya. Meski begitu, dikalangan ulama ada beberapa pendapat mengenai penerapan hadits tersebut.
1. Pendapat Pertama: Haram Cukur Rambut dan Potong Kuku Di antara mereka yang mengharamkan adalah Sa’id bin Al Musayyib, Rabi’ah, Imam Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian murid-murid Imam Asy-Syafi’i. Di masa sekarang ini yang termasuk ikut mengharamkannya antara lain Lajnah Daimah di Saudi Arabia.
Mereka mengatakan bahwa larangan memotong rambut dan kuku bagi shahibul qurban dihukumi haram sampai diadakan penyembelihan qurban pada waktu penyembelihan qurban. Pendapat pertama didasarkan pada hadits larangan shahibul qurban memotong rambut dan kuku yang telah disebutkan di atas.
2. Pendapat Kedua: Tidak Haram Hanya Makruh Pendapat kedua menyatakan bahwa larangan di dalam hadits itu tidak sampai haram, melainkan makruh yaitu makruh tanzih. Ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i dan murid-muridnya yang lain lagi.
Pendapat kedua ini didasarkan hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah berqurban dan beliau tidak melarang apa yang Allah halalkan hingga beliau menyembelih qurbannya di Makkah.
Artinya di sini, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak melakukan sebagaimana orang yang ihram yang tidak memotong rambut dan kukunya. Ini adalah anggapan dari pendapat kedua. Sehingga hadits di atas dipahami makruh. Bersambung [fha/islampos/fimadani/muhammadiyah]
Redaktur: Eva Fatmah Hasan
Awal Dzulhijjah, Benarkah Orang yang Berkurban Haram Potong Rambut dan Kuku? (2-Habis)
Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi Saw. berkata: “Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzulhijjah) dan salah seorang di antara kalian hendak berkurban, hendaklah ia tidak menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun,” (HR Muslim).
3. Pendapat Ketiga: Halal Tidak Haram
Pendapat ketiga secara tegas menyatakan tidak ada larangan untuk mencukur rambut dan memotong kuku. Di antara yang berpendapat seperti ini Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka menyatakan tidak makruh sama sekali.
Imam Malik dalam salah satu pendapat menyatakan bahwa larangan ini makruh. Pendapat beliau lainnya mengatakan bahwa hal ini diharamkan dalam qurban yang sifatnya sunnah dan bukan pada qurban yang wajib.
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah berargumentasi bahwa orang yang mau menyembelih hewan udhiyah tidak dilarang dari melakukan jima’ atau memakai pakaian, maka tidak ada larangan atasnya untuk bercukur maupun memotong kuku.
Hadits di atas berlaku hanya untuk para jamaah haji yang memang di antara larangannya adalah bercukur dan memotong kuku.
Ada hadits lain yang redaksinya mirip dengan Hadits diatas. Hadits ini juga sama-sama berasal dari Istri Nabi Muhammad SAW.
“Aku mendengar Ummu Salamah istri nabi Saw. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang memiliki sembelihan yang akan dia sembelih, maka apabila hilal Dzulhijjah telah muncul, hendaklah ia tidak mengambil dari rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun sampai ia berkorban”” (HR Muslim)
“Dari Ummu Salamah yang (sanadnya) ia sambungkan (ke Rasulullah). Beliau bersabda: “Apabila 10 (Dzulhijjah) telah masuk dan seseorang memiliki hewan kurban yang akan ia sembelih, maka hendaklah ia tidak mengambil rambut dan tidak memotong kuku”” (HR Muslim)
Mengenai dua hadits diatas, Ustadz Muhammad Rofic, LC, MA mengatakan bahwa tidak ada yang eksplisit dari kedua hadis tersebut mengenai apa yang dilarang untuk dipotong. Sehingga di kalangan ulama (khususnya ulama kontemporer) ada yang memaknai bahwa yang dilarang untuk dipotong adalah kuku dan kulit hewan kurban, bukan sahibul kurban.
Beliau juga mengatakan bahwa karena ada perbedaan redaksional pada ketiga hadits tersebut tetap terdapat kemungkinan periwayatan bil makna (melibatkan interpretasi personal dari perawi).
Lebih lanjut Ustadz Muhammad Rofic menjelaskan, bagi yang memaknai larangan untuk memotong kuku dan kulit hewan kurban argumentasinya adalah hadis dari Aisyah bahwa beliau menganyamkan kalung untuk kurban Rasulullah SAW dan setelah itu tidak menjauhi apa yang dihalalkan oleh Allah selama 10 hari awal bulan Dzulhijjah (HR Nasai).
Islam menganjurkan menjaga kebersihan. Jika kuku dan rambut manusia sudah saatnya dibersihkan, maka tidak harus ditunda sampai 10 hari. Dalam hali ini terdapat psikologi hewani bahwa ia perlu dimuliakan sebelum disembelih.
Bagi yang memaknai larangan memotong kuku dan rambut sohibul kurban, argumentasinya adalah ini domain ta’abbudi (ibadah mahdhah), yang harus diikuti secara for granted (apa adanya). Melaksanakannya adalah suatu bentuk ketundukan terhadap perintah agama.
Barangkali syariat ini akan sulit dicerna pikiran, tetapi dapat ditarik hikmah di baliknya, yaitu, membiarkan bagian tubuh manusia utuh sebelum hari penyembelihan, sehingga bagian tubuh manusia akan dibebaskan secara ututh pula dari api neraka kelak di hari akhir (pendapat yang dikutip imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim).
Mengamalkan hadis lebih utama daripada mengabaikannya (i‘malul hadis awla min ihmalihi).
Bagi yang memaknai larangan memotong kuku dan rambut sahibul kurban, juga tidak sampai membawanya kepada tahap haram. Paling jauh hanyalah makruh. Sehingga, insya Allah, tidak akan mengurangi keutamaan dan pahala dari kurban yang ia lakukan. Insya Allah tidak berdosa (apalagi karena alasan kebersihan atau ketidaktahuan) tetap memotong kuku dan rambutnya sendiri. Wallahu’alam. [fha/islampos/fimadani/muhammadiyah]
merujuk kepada kitab busrol karim,disebutkan bahwa hukum nya makruh u mencukur rambut dan menggunting kuku bagi yg yg mau berkorban.
Ada tulisan bagus . Ust Dr Munthaha ahli hadits alumni IIUM, seputar perbedaan pemahaman hadits, tentang kasus potong kuku dg berqurban. Tersusun rapi dan runut cara meneliti dan menarik simpulannya Menyikapi Hadits Larangan Memotong Kuku dan Rambut Sebelum Qurban
Akhir-akhir ini, setidaknya ketika akses internet mulai merebak, terutama di kalangan terpelajar dan professional dan seiring dengan keinginan mereka menimba ilmu agama, mulai banyak beredar dakwah (ajakan) dan juga peringatan dari beberapa orang agar orang yang hendak berqurban jika sudah masuk tanggal satu Dzul Hijjah agar tidak memotong rambut dan kukunya sehingga setelah hewan qurban disembelih.
Jika ditelusuri dasar pilihan hukum di atas adalah hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah RA yang dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya.
عَنْ أُمِّ سَلَمةَ رضِيَ اللَّه عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: “مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ، فَإِذا أُهِلَّ هِلالُ ذِي الحِجَّة، فَلا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْره وَلا منْ أَظْفَارهِ شَيْئاً حَتَّى يُضَحِّيَ “رَواهُ مُسْلِم
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang memilihi sembelihan yang akan disembelihnya, maka jika sudah masuk hilal Dzul Hijjah, jangan sekali-kali mengambil (memotong) rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun sehingga ia menyembelih” HR. Muslim.
Jika membaca hadits seperti ini dengan lafadz yang mengandung penekakanan “jangan sekali-kali” yang di dalam ilmu nahwu “nun” pada lafdz “ta’khudzanna” dinamakan “nun taukid” nun yang berfungsi memberikan penekanan pada kata kerja, pembaca yang awam tentu akan segera mengambil kesimpulan hukum “haram” dari larangan dalam matan hadits dengan berdasar hadits yang shahih. Dan bisa jadi tidak ingin ketinggalan kesempatan ia akan segera memberikan peringatan dan berdakwah ke sanak saudara dan sahabat yang akan berqurban dengan niat yang tulus ingin mencegah kemunkaran.
Hadits di atas ada di dalam shahih Muslim, hadits yang terkenal, bahkan di banyak pesantren di Indonesia kitab shahih Muslim juga dikaji sampai tuntas, tidak hanya itu, hadits ini juga dimuat di dalam kitab “Riyadhus Shalihin” yang hampir seluruh pesantren tradisional maupun modern di Indonesia mengaji kitab ini, di samping itu ibadah qurban di hari raya ‘idul Adha sudah ada ratusan tahun di semua negara Islam, namun mengapa hukum larangan memotong rambut dan kuku nyaris tidak terdengar? Pertanyaan yang sangat wajar dan tentu ada sesuatu yang menyebabkan hokum tersebut kurang populer, meskipun termuat di dalam kitab hadits yang shahih sekelas shahih Muslim.
Hadits ini bisa dijadikan pelajaran berharga, untuk menyikapi banyak lagi hadits lainnya yang berkaitan dengan hukum, bahwa tidak semua lafadz-lafadz lahiriah (dzahiriah) sebuah hadits bisa langsung dijadikan dalil hukum, para ulama’ hadits selalu mengaitkan dengan dilalah (maksud) lafadz tersebut dan di samping itu juga dicari dalil-dalil pembanding, sebab bisa jadi ada ta’arudh (kontradiksi) dengan dalil yang lain sebagai bahan untuk jam’ (mengkompromikan) atau men-tarjih (memilih yang kuat) dari sekian banyak dalil, tanpa proses tersebut dipastikan seseorang yang membaca dalil hukum dari teks al-Qur’an ataupun Sunnah akan terjebak dalam kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan.
Kembali ke hadits Ummu Salamah di atas, derajat hukumnya dipastikan shahih, namun bukan berarti jika hadits yang shahih kemudian dilalahnya (maksudnya) menjadi qath’i (pasti dengan satu arti), nash di dalam al-Qur’an ataupun hadits yang mutawatir dan shahih, maksud dan kandungannya memiliki dua sisi, ada yang qath’i (pasti) dan ada yang dhanni (relatif).
Hadits ini, meskipun lafadz dzahirnya ada penekanan kuat, “jangan sekali-kali”, namun para ulama’ tidak kemudian membiarkan arti ini dilanjutkan ke ranah hukum tanpa proses, namun ada sekian banyak pertimbangan sebelum mengambil kesimpulan, di antaranya:
Ada beberapa riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dimuat oleh Imam al-Bukhari di dalam shahihnya dan juga di muat oleh imam-imam muhadditsin lainnya, menerangkan bahwa Rasulullah saw mengirimkan hadyu (hewan sembelihan) melalui Abu Bakar yang mana hadyu tersebut dikirimkan ke Baitullah, dan Nabi saw masih muqim di Madinah, Nabi saw tidak mengharamkan apapun sebagaimana pantangan yang dihindari oleh orang yang sedang berihram.
Peristiwa ini diriwayatkan oleh Aisyah, istri dan sahabat yang paling mengetahui seluk beluk Nabi saw di rumahnya, oleh karenanya Imam as-Syafi’i berkomentar: “Dan mengirimkan hadyu (hewan qurban) lebih dari sekedar ingin berqurban, maka ini menjadi dalil bahwa hal itu (memotong rambut dan kuku) tidak diharamkan”.
Abu al-Walid al-Baji mengatakan: “Ucapan Aisyah: “Kemudian Nabi saw mengirimkan hewan qurbannya melalui ayahku”, (dengan menyebut melalui ayahku) ia sebenarnya ingin menerangkan bahwa Nabi saw melakukan itu semua pada tahun ke 9 H, juga ingin memberitahukan bahwa beliau mengerti semua permasalahnnya”.
Artinya, perbuatan Nabi saw dengan tidak meninggalkan pantangan apapun sebelum berqurban terjadi di akhir hayat beliau, sebab pada tahun berikutnya beliau naik haji. Hal ini menunjukkan bahwa hadits Aisyah hukumnya tetap, tidak dimansukh (tidak dihapuskan).
Di samping itu riwayat Aisyah ini demikian masyhur di kalangan sahabat dan tabi’in bahkan kemasyhuran riwayat ini sampai pada kelas mutawatir, berbeda dengan riwayat Ummu Salamah, oleh karenanya al-Imam al-Laith bin Sa’d ketika disampaikan kepada beliau tentang hadits Ummu Salamah ra beliau berkata: “(Hadits) ini telah diriwayatkan, namun orang-orang melakukan selain yang terkandung dalam hadits ini”. Imam al-Laits sepertinya ingin berkesimpulan, meskipun hadits ini shahih tapi orang-orang mengamalkan hadits shahih yang lain. Menunjukkan maksud dan kandungan hadits Ummu Salamah kurang kuat jika dibandingkan dengan riwayat-riwayat yang lainnya, dan bahkan banyak ulama’ muhadditsin yang tidak mengamalkan isi kandungan hadits Ummu Salamah.
Di sudut lain ada juga ulama’ tabi’in yang menggunakan qiyas, ‘Ikrimah murid dan mantan hamba Ibnu Abbas yang juga ulama besar Makkah ini ketika disampaikan kepada beliau hadits Ummu Salamah, beliau mengakatan: “Tidaklah sebaiknya orang itu meninggalkan berhubungan badan dan wewangian”. Maksudnya, jika memotong kuku dan rambut dilarang tentu berhubungan badan harus dilarang juga, sebab lebih berat. Qiyas ini diperkuat lagi oleh Ibnu ‘Abdil Barr, tokoh penting madhab Maliki, beliau berkata: “Semua ulama’ telah berijma’ (konsensus), bahwa berhubungan badan di sepuluh awal Dzul Hijjah bagi yang ingin berqurban diperbolehkan, maka yang kurang dari itu hukumnya mubah”. Logika Ibnu Abdil Barr juga relevan, dari sekian banyak pantangan ihram, berhubungan badan tidak sebanding dengan memotong rambut dan kuku.
Adapun yang berpendapat bahwa larangan tetap berlaku dengan mendasarkan kepada hadits Ummu Salamah, mereka menyikapinya sebagai berikut:
Pertama, teks dzahir dari hadits Ummu Salamah berpendapat bahwa hadits Aisyah sangat umum sedangkan hadits Ummu Salamah untuk peristiwa yang khusus, sesuai dengan kaidah yang khusus harus didahulukan dari pada yang umum.
Hadits ‘Aisyah menerangkan perbuatan Nabi saw, sedangkan hadits Ummu Salamah menyebutkan sabda Nabi saw, dan dalam istinbath hukum dari hadits, ucapan Nabi saw lebih didahulukan daripada perbuatannya, sebab boleh jadi perbuatannya hanya khusus untuk beliau.
Imam Ahmad yang berpendapat haramnya mencukur rambut dan memotong kuku membedakan hukum bagi orang yang berqurban dengan mengirimkan ke Makkah dan tetap tinggal di rumahnya dan orang yang berniat ingin menyembelih. Meskipun alasan ini sudah terjawab dengan komentar Imam as-Syafi’i di atas.
Dari metode istinbath yang berbeda-beda ini maka kesimpulan hukumnya juga berbeda, inilah yang disebut ijtihad ulama’ dalam memutuskan hukum, meskipun sudah ada nash, ijtihad dalam persoalan ini tetap diperlukan sebab meskipun ada nash agama, namun dalilnya bukan dalil yang qath’i, sehingga maksud dari isi kandungannya masih multi tafsir.
Oleh karenanya para ulama’ berbeda dalam memutuskan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berqurban jika hilal bulan Dzul Hijjah sudah terlihat, minimal ada empat pendapat:
1. Abu Hanifah dan jumhur Hanafiyyah: Hukumnya boleh, tidak makruh dan tidak ada masalah apapun.
2. Pengikut Abu Hanifah yang muta’akkhirin: Tidak apa-apa, tidak makruh namun khilaful aula (meninggalkan yang mustahabb).
3. Al-Malikiyyah dan As-Syafi’iyyah: Disunnahkan (mustahabb) untuk tidak memotong rambut dan tidak memotong kuku bagi yang hendak berqurban dan jika memotongnya termasuk makruh tanzih, namun bukan haram.
4. Imam Ahmad, Dawud ad-Dzahiri dan beberapa ulama lain menyatakan hukumnya haram jika memotong rambut dan kuku.
Dari paparan di atas, yang menyatakan hukumnya haram sangat sedikit, bahkan dari ulama’ madzhab hanya Imam Ahmad yang bersikukuh hukumnya haram, adapun jumhur ulama’ madzhab lebih cenderung memutuskan hukumnya adalah makruh, bahkan makruh karahah tanzih, yang berarti seyogyanya tidak dilakukan.
Pelajaran penting dari hadits ini
Terlepas dari pilihan-pilihan hukum yang sudah matang dan dikaji dengan mendalam oleh para ulama’ hadits dan juga fuqaha’ dan diskusinya sudah dibahas tuntas di dalam kitab-kitab fiqih dan syarah-syarah hadits, ada pelajaran penting dari hadits ini:
1. Memahami teks agama tanpa bimbingan ulama’ adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Belajar sendiri dari nash-nash al-Qur’an dan hadits tanpa merujuk ke tafsir dan syarah-syarah hadits adalah tindakan yang sangat gegabah.
2. Nash al-Qur’an dan nash hadits-hadits Nabi yang berupa larangan, belum tentu kesimpulan hukumnya adalah haram. Sebab kata larangan memiliki indikasi makna yang bermacam-macam, untuk mengetahui hal ini, seseorang perlu mempelajadi dilalatul alfadz di dalam disiplin ilmu ushul fiqih.
3. Tidak semua nash dalam al-Qur’an dan hadits mengandung maksud qath’i (hukumnya pasti, tidak menerima perbedaan), namun kebanyakan nash dalah dhanni (relatif).
4. Para salafusshalih, dalam hal ini para sahabat dan tabi’in juga terbiasa berbeda dalam masalah ijtihadiyyah. Hal ini bisa dilihat dari sikap para tabi’in yang melaporkan persoalannya kepada Aisyah ra juga sikap para ulama’ tabi’in dalam menyikapi hadits Ummu Salamah ra.
5. Pilihan hukum tertentu dari masalah-masalah khilafiyyah tidak boleh mengganggu muslim yang lain yang berbeda pilihan. Bahkan
Ada tanggapan copas dari WA sebelah tentang pemilihan hewan Qurban..
LEBIH BAIK 1 KAMBING ATAU 1/7 SAPI?
Sebagian ulama menjelaskan, kurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau unta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (Shahih Fiqh Sunnah, 2:375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 dan Syarhul Mumthi’ 7:458).
Imam As-Saerazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Kambing (sendirian) lebih baik dari pada urunan sapi tujuh orang. Karena orang yang berkurban bisa menumpahkan darah (menyembelih) sendirian.” (Al Muhadzab 1:74).
Di antara dalilnya adalah karena Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam terbiasa berqurban dengan hewan utuh, bukan urunan (walaupun beliau membolehkannya).
Seekor kambing lebih baik dari pada patungan (kerjasama / kolektif) pada unta; karena tujuan berkurban adalah mengalirkan darah, dan orang yang berkurban perorangan ia bertaqarub kepada Allah dengan mengalirkan darah sepenuhnya. Dan kambing kibas adalah sebaik-baik kambing; karena kibas adalah hewan kurban Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan sebaik-baik daging. (al Mughni: 13/366)
Lajnah Daimah pernah ditanya: Mana yang lebih utama untuk berkurban, kambing kibas atau sapi ?
Mereka menjawab:
“Sebaik-baik kurban adalah unta, lalu sapi, kemudian kambing, kemudian kurban kolektif dalam satu unta maupun sapi. Berdasarkan sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada shalat Jum’at:
( مَنْ راح في الساعة الأولى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً . . . إلخ الحديث (
“Barang siapa yang berangkat (ke masjid) pada awal waktu, maka seakan ia mendapatkan badanah (unta gemuk)…. dan seterusnya.
Hadits di atas menunjukkan adanya tingkatan dalam bertaqarrub kepada Allah antara unta, sapi dan kambing, dan tidak diragukan lagi bahwa berkurban adalah termasuk bentuk bertaqarrub kepada Allah yang paling agung, dan unta adalah yang paling mahal harganya, paling banyak dagingnya, paling banyak manfaatnya, oleh karenanya pendapat ini didukung oleh tiga imam, yaitu; Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad.
Syeikh Ibnu Utsaimin dalam “Ahkam Udhhiyyah” berkata:
“Hewan kurban yang paling utama adalah unta, lalu sapi jika ia berkurban penuh, kemudian kambing kibas, kemudian kambing biasa, kemudian 1/7 unta kemudian 1/7 sapi.”
Namun, Syeikh Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah mengatakan bahwa tampaknya yang lebih utama adalah yang manfaatnya paling besar bagi fakir miskin.
=======
Sebagian bertanya:
Bukankah sepertujuh sapi menghasilkan daging lebih banyak daripada seekor kambing?
Dijawab:
Ibadah kurban bukan semata-mata terkait banyaknya daging, tapi syiar penghambaan thd Allah.
Berbeda dengan zakat fitri yang menurut sebagian ulama bisa diganti uang karena tujuannya adalah membahagiakan orang miskin di hari raya, kurban sama sekali tidak bisa diganti sedekah uang. Karena tujuannya adalah syiar penghambaan terhadap Allah.
=======